27 September 2008

Bersyukur Dapat ”Musibah”


Anda yang memiliki kondisi kesehatan prima sebelumnya, tanpa pernah mengalami sakit yang serius, tiba-tiba menjadi tidak berdaya. Timbul gejala lesu, lemah, demam, sakit kepala, nyeri sendi-sendi, otot ngilu, berbagai kerusakan kulit baik di muka maupun di bagian tubuh lainnya. Secara bertahap tapi pasti penyakit ini merenggut organ-organ vital anda, misalnya panjang kedua tangan tak lagi sama akibat atropi otot, vaskulitis (peradangan pembuluh darah) terjadi di bagian kulit, rongga dada, hingga selaput otak. Waktu demi waktu penyakit ini bukannya semakin jinak, malah semakin menjadi-jadi. Sensitif terhadap sinar matahari, jika mau bepergian harus membawa perlengkapan tabung oksigen, kruk, dan kursi roda. Perjalanan penyakitnya pun bervariasi dari ringan sampai berat dengan episode kambuh dan baik yang tidak terduga. Ya, itulah penyakit yang namanya Lupus. Lupus adalah penyakit autoimun, sejenis alergi terhadap diri sendiri. Zat anti yang dibentuk sistem kekebalan tubuh yang biasanya berfungsi melindungi tubuh melawan kuman, virus, dan benda asing, malah berbalik menyerang jaringan tubuh kita sendiri. Penyakit ini terutama menyerang wanita. Penyakit ini dikenal dengan istilah ’The great imitator” atau “penyakit 1000 wajah” karena penampakannya dapat bermacam-macam. Yang harus diingat, penyakit ini belum ada obat.
Saya berkeyakinan anda yang terkena penyakit ini akan merubah kehidupan anda 180 derajat. Dian Syarief misalnya, seorang wanita kelahiran Bandung ini, lulusan farmasi ITB, dengan jabatan terakhirnya adalah Public Relations Manager bank Bali, lika-liku hidupnya ”bersahabat” dengan Lupus setelah divonis dokter pada Februari 1999 mengidap penyakit ini. Kisah Dian ini dituangkan dengan begitu indah oleh suami tercinta, Eko P. Pratomo dalam buku yang berjudul ”Miracle of Love : Dengan Lupus Menuju Tuhan”. Bagaimana di awal musibah itu hadir, Dian sempat shock bahkan depresi berat. Hidup dilaluinya dengan saraf pusat penglihatan yang hanya berfungsi lima persen. Trombosit darah hanya tinggal 10% dibanding trombosit normal. Sehari harus menelan 20 tablet. Biaya pengobatan setiap bulannya Rp 600.000,- itu pun belum termasuk biaya pemeriksaan laboratorium yang harus dilakukan secara berkala. Karena tampilan dan gangguan organ yang diakibatkan Lupus sangat beragam, para penderitanya tidak berobat ke satu spesialisasi. Mengunjungi berbagai spesialis bahkan subspesialis seperti spesialis kulit, penyakit dalam, subspesialis reumatologi, ginjal, darah, dan imunologi, tergantung dokter mana yang tersedia dan gejala mana yang lebih dominan. Pindah-pindah Rumah Sakit sampai akhirnya operasi sebanyak enam kali dalam sebulan di RS. Mounth Elizabeth, Singapura. Di dalam perenungan di tempat tidur, Dian berucap aku ini adalah orang yang sulit menerima kenyataan bahwa aku harus bergantung pada orang lain. Sebelum sakit, aku aktif sebagai Corporate Communication Manager di sebuah bank swasta yang sangat sibuk. Kerapkali aku melewatkan waktu shalat dan melakukannya pada last minutes. Terus terang, hidupku lebih berorientasi pada duniawi, mengejar ambisi karier sehingga jarang memikirkn hal-hal spiritual. Hati kecilku menjerit, ”Siapa yang bisa menolong aku?” Tetapi di saat yang sama aku menyadari Tuhan pasti bersamaku. Satu hal yang penting, mas Eko juga selalu mendampingiku. Ketika aku berjalan tertatih-tatih, jemarinya langsung menggenggam hangat tanganku, memberi kekuatan pada diriku.
Sebulan, dua bulan, tiga bulan....berlalu dengan sangat menyiksa. Ternyata, waktu memang mujarab menyembuhkan luka. Lambat laun kepedihan hati agak reda. Dukungan moril dari suami, orangtua, saudar-saudara, para sahabat, dan semua yang mengenal benar-benar sangat berarti. Di tengah kebutaan itu, Dian malah ingin menghafal Al-Qur’an dan meminta didatangkan guru ngaji. Pada tahun 2000 menjadi pembicara seminar dan di musim haji tahun itu pula ia memunaikan rukun Islam yang kelima ditemani suaminya, Eko P. Pratomo dan ibunya. Bagi Dian, diserang penyakit yang belum ada obatnya itu bukanlah akhir dari segalanya. Oleh karena itu, dia tetap berusaha menjalankan kegiatan sehari-hari secara normal meski sampai sekarang masih terus mengkonsumsi obat-obatan anti radang nonsteroid untuk mengurangi pembengkakkan, panas, dan nyeri akibat peradangan. Dian suka berbagi pengalaman dengan menulis yang dikirim ke beberapa media dan sahabat lewat e-mail, mengisi forum diskusi, sampai pada tahun 2004 mendirikan Yayasan Syamsi Dhuha untuk para odapus (sebutan penderita lupus). Berperan sebagai volunteer merangkap sebagai konsultan, bahkan fasilitator selain menjadi teman berbagi. Menulis surat untuk Menteri Kesehatan Republik Indonesia. Hari-harinya diisi dengan agenda-agenda rutinitas seperti pengajian dan seminar.
Perjalanan kisah hidup Dian Syarief bersama suaminya, Eko P. Pratomo yang dituangkan dalam buku ini semoga bisa memberi banyak pelajaran dan inspirasi baru dalam mengubah cara pandang kita terhadap apa yang kerap kita sebut ”musibah”. Menerima kata ”musibah” lebih baik dimaknai sebagai ”kesempatan emas” yang disediakan Allah untuk kita belajar mengenal cinta-Nya yang tak bertepi untuk meraih kebahagiaan sejati.

Tidak ada komentar: