08 Oktober 2008

Kenikmatan Yang Tidak Terkira

Bersedihlah saat harus bersedih karena Rasulullah saw. pun bersedih! Begitu kira-kira inti kata pengantar dalam buku “Bersedihlah!” karya Ahmad Izzan & A. Abdul Qodir. Sedih adalah bagian dari fitrah. Ketika fitrah itu menjadi keimanan, maka air mata bukan lagi menjadi jembatan pemisah dengan Allah, melainkan harus menjadi sahabat dan jembatan yang semakin mendekatkan diri kita kepada Allah.
Dalam buku yang tidak terlalu tebal ini, ada dua puluh satu kisah yang diceritakan bagaimana Rasulullah bisa mengatasi segala kesedihannya sebagai insan manusia yang sama seperti kita. Mulai dari ketika Rasulullah menerima wahyu pertama, yang dalam sejumlah hadits bahkan diterangkan bahwa Rasulullah saw. sampai mengalami ketakutan yang sangat luar biasa. Rasulullah pun menangis kala beliau shalat dan sudah menjadi kebiasaan menangis ketika membaca atau mendengar bacaan Al-Qur’an. Ya, menangis ketika membaca atau mendengar Al-Qur’an adalah kepribadian, karakter, dan ciri khas para Rasul. Bahkan tradisi ini secara kuat diwarisi oleh para sahabat dan generasi sesudahnya yang dikenal sebagai salaf ash shalih. Ketika membaca Al-Qur’an, mereka selalu menyertainya dengan perenungan dan isak air mata. Bagi mereka, kebahagiaan tertinggi adalah ketika mereka berhadap-hadapan dengan Allah melalui Al-Qur’an. Menangis bukanlah suatu keharusan, melainkan suatu kenikmatan yang tiada terkira. Kata kunci terkait hal ini adalah perenungan, permenungan, atau kehendak yang diikuti usaha yang kuat untuk menyikap makna yang dikandungnya. Ada pula kisah Rasulullah saw. selama sepuluh hari berada di Thaif, Rasulullah selalu menemui pembesar-pembesar di sana dan mengajaknya bertukar pikiran. Setiap itu pula cacian, makian, hingga kata-kata bernada usiran mereka tujukan kepada Rasulullah. Kisah ini ingin membuktikan bahwa kapan dan di mana pun selalu saja ada pihak-pihak yang tidak senang dengan Islam sebagai sunnatullah. Dalam keadaan seperti itu, tidak sepatutnya kita menghindar dari fenomena dan kejadian itu, tetapi dengan penuh kesabaran, tawakal, dan usaha maksimal kita harus menghadapi atau melewatinya. Tidak layak bagi seorang mukmin untuk berputus asa dari rahmat Allah. Maka, sikap huznuzhan kepada Allah harus selalu ditanamkan kuat-kuat di lubuk hati kita. Hidup ini tidak akan pernah lepas dari shadiqin yamdah wa min ‘aduwin yaqdah, hidup adalah perjuangan dan perjuangan membutuhkan pengorbanan.
Bagaimana perlakuan kasar kaum Quraisy kepada Rasulullah terjadi setelah ia ditinggal Abu Thalib dan Khadijah pada bulan dan tahun yang sama. Menyebabkan Rasulullah, terpaksa meninggalkan tanah kelahirannya, Mekah. Walau begitu, sebongkah persedian kesabaran telah memenuhi setiap anasir kemanusiaannya. Ia mengajarkan bahwa selagi berada pada jalan yang benar, biarlah mereka yang tidak senang berbuat sekehendak hatinya. Biarlah anjing menggonggong, kafilah tetap berlalu. Sahabat yang sakit pun ditangisi oleh Rasulullah, Utsman bin Mazh’un, misalnya. Sahabat yang sakit perut hingga tak sadarkan diri, sebab Rasulullah menganalogikan mukmin laksana satu-kesatuan badan, dimana jika salah satu anatomi tubuh merasakan sakit, bagian tubuh yang lain juga ikut merasakannya. Penderitaan tidak henti-hentinya menimpa kehidupan Rasulullah saw. Satu lagi orang yang sangat Dia banggakan sekaligus dicintai meninggal dunia karena terbunuh yakni pamannya, Hamzah bin Abdul Muthalib meninggal saat perang Uhud oleh Wahsyi bin Harb. Tapi ketika Wahsyi ingin masuk Islam, Rasulullah bisa menerimanya. Di kisahkan pula, kesedihan Rasulullah ketika satu demi satu anggota keluarganya meninggalnya putrid, kakek, dan istri tercinta. Dalam kesendiriannya, rasa itu memang pahit, siapakah yang bisa menolak. Allah lebih berhak untuk menentukan segalanya daripada kehendak Rasul. Sampai menjelang wafatnya, rasa khawatir yang menjalar dalam seluruh aliran darahnya melebihi manusia biasa karena memikirkan umatnya dengan berucap lirih, “Ummati… ummati… ummati…”
Kedua penulis, menggambarkan pula ziarah kubur yang dilakukan oleh Rasulullah. Rasulullah menziarahi peristirahatan terakhir sang ibunda, Aminah binti Abdullah. Hal itu, beliau lakukan semata-mata untuk mendapatkan nasihat, pelajaran, dan peringatan dari orang yang meninggal dunia untuk akhirnya direnungkan sebagai “proses peragian hidup”. Dicontohkan bahwa kesedihan Rasulullah itu tidak pandang bulu, tidak karena miskin-kaya, hitam-putihnya warna kulit, atau kedekatan dengan dirinya. Meninggalnya wanita hitam yang pekerjaannya menyapu Masjid Nabawi. Selain itu, ada cerita ketika Rasulullah dihadapkan pada anak yang sakaratul maut. Rasulullah mengajarkan kepada sahabat bahwa air mata yang menetes karena sedih hati tanpa dibuat-buat dan tidak mengundang-undang, Allah tidak akan menyiksa orang tersebut. Yang dilarang adalah gelisah yang disertai sikap tidak sabar.
Wahai saudaraku, Rasulullah juga manusia biasa seperti kita. Yang membedakannya karena beliau mendapatkan wahyu. Hadirnya buku ini, mencoba mengajak kita semua untuk berbagi dan mengambil hikmah dari sekian banyak pelajaran yang menimpa Rasulullah. Tujuannya adalah untuk menginsyafi bahwa ketundukkan terhadap skenario Allah-lah yang menjadi kesejatian keikhlasan dan keridhaan pada diri kita dalam menjalani hidup. Saudaraku sekalian, mari kita meneladani segala pola pikir dan tingkah Rasulullah. Menangislah seperti halnya Rasulullah peragakan! Agar kita bisa tersenyum ketika kelak bertemu dan berpapasan dengan Rasulullah di surga! Semoga kita bisa! (Mas)

Tidak ada komentar: