22 Oktober 2008

Dagelan Birokrasi

Oleh: Dimas Pamungkas

Teman, di akhir bulan Maret 2007 lalu, ada “hajatan” besar yang diadakan rektor Universitas Airlangga, yakni melakukan seleksi Dekan secara serentak di semua Fakultas. Ada sebuah contoh kasus yang menarik dalam proses seleksi Dekan tersebut, tepatnya di fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP). Singkat cerita ada salah seorang Dosen yang berasal Departemen (Dahulu namanya jurusan) Ilmu Administrasi Negara ikut mendaftar sebagai calon Dekan ternyata tidak lolos secara administratf karena ada berkas yang masih kurang, yaitu KTP (Kartu Tanda Penduduk) dan kartu pegawai, maka tidak salah sang calon pun kaget ketika membaca pengumuman dirinya tidak lolos secara administratif. Dalam aturan yang dibuat tidak ada kewajiban melampirkan KTP dan Kartu pegawai. Panitia bilang “Kegunaan KTP untuk mengetahui umur sebenarnya seorang dosen yang ingin menjadi calon Dekan”. “Wah.. kalau terkait umur yang lebih valid ya Akte Kelahiran”, ucap saya dalam hati. Terus, yang tidak bisa saya rasionalisasikan adalah sang dosen tidak diberitahukan oleh panitia kalau berkasnya masih kurang, padahal rumah sang dosen tersebut hanya beberapa meter dari sekretariat pendaftaran (Baca: Gedung FISIP) atau via telephone toh pasti tahu nomornya.
Contoh lain lagi kalau bicara bea siswa. Kenapa mahasiswa yang ingin mendapatkan beasiswa yang jumlahnya nggak besar-besar banget harus bersusah payah ngurus syarat administrasinya mulai dari ”hulu sampai hilir”, baru RT saja mungkin sudah terjadi ”pimpong sana, pimpong sini”. Tanda tangan di ketua RT tapi stempelnya di sekretaris dan kasih uang ”lelah” ke bendahara (Capek dech....). Jika niat membangun kecintaan kepada almamater dan image Unair tidak seperti menara gading, lakukan saja inspeksi mendadak kerumah mahasiswa tersebut toh dampaknya akan lebih bermanfaat kedepannya, misalnya banyak alumni mau ngurus kampus, sekarang lihat realitanya......
Ada contoh yang menambah label ”aneh” dikampus kita ini, yaitu minimal dua kali dalam satu tahunnya mengadakan ”ritual” (wisuda), dan setiap akan ada wisuda secara sertamerta dibentuk kepanitiaan. Ternyata dari setiap kepanitiaan itu dari informasi yang saya dapat selalu defisit sehingga selalu ada subsidi dari rektor. Saya terheran-heran koq bisa defisit dan kenapa tidak di bentuk panitia permanen saja toh itu acara ”ritual” jadi pasti selalu diadakan. Contoh tadi belum apa-apa, ada yang lebih”menggelitik” jika kita melihat fenomena di Porong Sidoarjo. Pihak Lapindo Brantas akan mengganti rugi semua rumah masyarakat asalkan masyarakat tersebut bisa menunjukkan Sertifikat tanah sebagai bukti kepemilikan. Tapi kita tahu tentu masyarakat lebih berpikir menyelamatkan semua anggota keluarganya dan barang-barang yang dianggap primer mana sempat mikir untuk selamatkan sertifikat tanah. Dalam pemberitaan beberapa media massa mengatakan karena hanya selembar kertas (Sertifikat tanah) banyak masyarakat yang tidak mendapat ganti-rugi. Akhirnya pemerintah mengambil langkah dengan membuat sertifikat tanah bagi masyarakat yang tidak mempunyai. Timbul pertanyaan dalam benak, ”Kok bisa-bisanya pemerintah buat sertifikat tanah” dan saya yang tak habis pikir, ”Cara mengukurnya gimana?” Sedangkan daerah tersebut sudah rata oleh lumpur.
Ya itulah sedikit ilustrasi dari dagelan birokrasi yang ada di Indonesia, sebenarnya lucu juga (He3x...) tapi jika dipikir secara arif, bagaimana jika dalam lingkungan pendidikan kita saja birokrasinya sudah tidak sesuai dengan kaidah sebenarnya. Jangan-jangan, ketika kita diberi kesempatan nanti untuk memimpin negara ini kita juga akan melakukan hal yang sama. Bukannya melakukan berbaikan dengan menempatkan birokrasi sesuai dengan kaidah dalam hal ini birokrasi yang lahir karena kebutuhan masyarakat namun malah menjadikan birokrasi sebagai alat kekuasaan. Yang harus diingat, memang dalam mengarungi hidup ini tidak bisa lepas dari birokrasi. Bahkan dari manusia lahir, sudah ada yang namanya akte kelahiran dan ketika meninggal nanti pun harus mengurus terkait administrasi pemakaman. Tulisan ini harapan bisa menjadi refleksi bersama bahwa sebenarnya permasalahan bangsa ini banyak sekali, kalau kita (baik yang berstatus mahasiswa/alumni) hanya berpikir yang ’kecil-kecil’ apalagi sampai berperilaku apatis dan pragmatis jangan berharap bangsa ini akan besar seperti yang kita cita-citakan. Semoga bermanfaat.

Tidak ada komentar: